Dalam satu tahun terakhir, gejolak yang menerpa dunia bisnis di Indonesia seperti belum kunjung reda. Dari mulai kejatuhan harga komoditas yang melemahkan daya beli masyarakat di luar Pulau Jawa, depresiasi kurs rupiah yang melemahkan daya beli masyarakat di Pulau Jawa, hingga gelombang pemutusan hubungan kerja yang menghantam sebagian industri skala menengah besar.
Bukan hanya industri komoditas ekspor yang terpukul, sektor industri manufaktur juga menjerit, serta industri ritel mulai terdampak. Beberapa outlet convenient store di daerah Jakarta Selatan harus menelan pil pahit, menutup gerai. Bahkan satu brand convenient store harus menghentikan operasional secara luas.
Ini boleh jadi gejolak tsunami ekonomi yang sedang melanda dunia, bukan hanya Indonesia.
Tapi secara khusus, Indonesia juga terkena dampak besar. Perekonomian melemah, peredaran uang makin ketat, kredit melambat, tanda-tanda positif belum terlihat.
Ada sejumlah pengamat yang menilai kondisi tersebut hanya pergeseran bisnis dari tradisional ke segmen online (internet). Boleh jadi demikian. Namun, apakah pergeseran tersebut mencakup seluruh fundamental bisnis? Untuk menjawab hal tersebut perlu riset lebih mendalam.
Di lain pihak, terdapat pameo yang mengatakan di setiap kelesuan bisnis terdapat peluang bagi pihak yang jeli. Mungkin pameo itu benar, tapi harus didukung oleh faktor penunjang yang penting: yakni data dan strategi akurat.
Di setiap lini usaha, mulai dari pembelian bahan baku, pencarian vendor, proses pengolahan, marketing, distribusi, ekspor-impor, semua membutuhkan data, analisis, dan riset. Bahkan, persaingan pasar juga membutuhkan data, analisis, dan riset untuk mengintip kekuatan-kelemahan pesaing (market intelligence), mempelajari strategi kompetitor, mengakuisisi pelanggan, mempertahankan pangsa pasar, edukasi pasar, edukasi konsumen, brand awareness, dan lainnya.
Di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang, data sudah dianggap sebagai komoditas yang dapat diperjualbelikan secara profesional. Seluruh rantai bisnis industri (supply-demand chain) membutuhkan data untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dan efisien.
Namun, di Indonesia sering terjadi pencarian data, analisis, dan riset sulit dilakukan karena terbatasnya akses informasi, ruang publik, ekosistem yang belum berkembang, serta ketiadaan forum/ajang interaksi jual-beli data. Karena itu, tidak heran, harga (nilai) sebuah data dapat melambung tinggi karena keterbatasan pasokan, sementara kebutuhan tergolong tinggi.(*)
Sumber: di sini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar